BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pengetahuan (knowledge) adalah sesuatu yang diketahui
langsung dari pengalaman, berdasarkan pancaindra, dan diolah oleh akal budi
secara spontan. Pada intinya, pengetahuan bersifat spontan, subjektif dan
intuitif. Pengetahuan dapat dibedakan menjadi pengetahuan non-ilmiah dan
pengetahuan pra-ilmiah. Pengetahuan non-ilmiah adalah hasil serapan indra
terhadap pengalaman hidup sehari-hari yang tidak perlu dan tidak mungkin diuji
kebenarannya. Sedangkan pengetahuan pra-ilmiah adalah hasil serapan indra dan
pemikiran rasional yang terbuka terhadap pengujian lebih lanjut menggunakan
metode-metode ilmiah, dituangkan kedalam karya ilmiah, dengan menggunakan
penjelasan ilmunya dengan argumentasi ilmiah, dan membuktikan kebenaran ilmunya
berdasarkan kriteri tertentu.
Seorang ilmuwan harus peka akan fenomena yang terjadi di
dunia ini, baik fenomena alam fisik, alam hayati, termasuk fenomena manusia
sebagai individu, insan social, politik, ekonomi maupun sebagai hamaba Tuhan
Yang maha Esa. Banyak aspek yang berhubungan dengan bagaimana seorang ilmuwan
bekerja. Yang mana proses bekerja seorang ilmuwan berkaitan erat dengan cara
kerja seorang ilmuwan.
B.
Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini
adalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan hakikat
pengetahuan?
2. Bagaimana cara mengggunakan metode
ilmiah?
3. Bagaimana suatu karya disebut karya
ilmiah?
4. Bagaimana menjelaskan ilmu dengan
argumentasi ilmiah?
5. Bagaimana menggunakan sarana
berfikir ilmiah?
6. Bagaimana cara membuktikan kebenaran
berdasarkan kriteria tertentu?
C.
Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah
ini untuk berbagi pengetahuan dan wawasan mengenai cara kerja ilmuwan kepada
masyarakat awam pada umumnya dan kaum intelektual (mahasiswa) pada khususnya.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Hakikat Ilmu Pengetahuan
Khazanah kehidupan manusia yang begitu luas
memang memungkinkan menguasai segala pengetahuan. Satu orang menguasai berbagai
ilmu pegetahuan mulai dari yang sederhana sampai ke yang kompleks. Tiap
pengetahuan tentu ada berbagai ciri khas. Hal ini memungkinkan kita mengenali
berbgai pengetahuan yang ada seperti ilmu pengetahuan, seni, dan agama serta
meletakkan mereka pada tempatnya masing-masing yang saling memperkaya kehidupan
kita. Orang dapat mengenal hakikat, sastra, dan budaya menurut katagori
tertentu. Tanpa mengenal kategori atau ciri-ciri tiap pengetahuan dengan benar
maka bukan saja kita dapat memanfaatkan kegunaannya secara maksimal namun
kadang kita bisa terjerumus. Pengetahuan dapat diartikan sebagai segala sesuatu
yang diketahui manusia. Manusia adalah makhluk hidup ciptaan Tuhan yang paling
sempurna dibandingkan makluk lain (hewan dan tumbuhan). Manusia makhluk yang
paling sempurna karena manusia mempunyai akal yang selalu berkembang, sedangkan
hewan mempunyai akal tetapi akalnya tidak berkembang atau disebut dengan
insting.
Pengetahuan (knowledge) adalah sesuatu yang diketahui langsung dari
pengalaman, berdasarkan panca indra, dan diolah oleh akal budi secara spontan.
Pengetahuan masih pada tataran inderawi dan spontanitas, belum ditata melaui
metode yang jelas. Pada intinya, pengetahuan bersifat spontan, subjektif dan
intuitif. Pengetahuan berkaitan erat dengan kebenaran, yaitu kesesuaian antara
pengetahuan yang dimiliki manusia dengan realitas yang ada pada objek.
Pengetahuan juga dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang diketahui manusia.
Manusia adalah makhluk hidup ciptaan Tuhan yang paling sempurna dibandingkan
makluk lain (hewan dan tumbuhan). Manusia makhluk yang paling sempurna karena
manusia mempunyai akal yang selalu berkembang, sedangkan hewan mempunyai akal
tetapi akalnya tidak berkembang atau disebut dengan insting. Namun,
kadang-kadang kebenaran yang ada dalam pengetahuan masih belum tertata rapi,
belum teruji secara metodologis. Orang melihat gunung meletus, itu pengetahuan.
Orang merasakan gempa, lalu lari tunggang langgang ke luar rumah, itu
pengetahuan. Pengetahuan masih sering bercampur dengan insting.
Ilmu (sains) berasal dari bahasa latin scientin yang berarti knowledge.
Ilmu dipahami sebagai proses penyelidikan yang berdisiplin tertentu. Ilmu
bertujuan untuk meramalkan dan memahami gejala-gejala alam. Meramalkan tidak
lain sebuah proses. Meramalkan bisa saja melalui penafsiran. Ilmu sebenarnya
juga sebuah pengetahuan, namun telah melalui proses penataan yang sistematis.
Ilmu telah memiliki metodologi yang andal. Ilmu dan pengetahuan sering kali
dikaitkan, hingga membentuk dunia ilmiah. Gabungan ilmu dan pengetahuan selalu
terjadi di raanah penelitian apapun. Ilmu tanpa pengetahuan tentu sulit
terjadi. Pengetaahuan yang disertai ilmu, jelas akan lebih esensial.
Ilmu
pengetahuan ialah ilmu pengetahuan yang telah
diolah kembali dan disusun secara metodis, sistematis, konsisten, dan koheren.
Inilah ciri-ciri ilmu pengetahuan, yang membedakan dengan pengetahuan biasa. Agar
pengetahuan menjadi ilmu, maka pengetahuan tadi harus dipilih (menjadi suatu
bidang tertentu dari kenyataan) dan disusun secara metodis, sistematis, serta
konsisten. Pengetahuan dan ilmu pengetahuan tentu berkaitan dengan realitas. Orang yang
mempelajari pengetahuan dan ilmu pengetahuan akan menelususri realitas secara
cermat. Hakikat kenyataan atau realiats memang bisa didekati dari sisi ontologi
dengan dua macam sudut padang yaitu kuantitatif dan kualitatif.
Atas dasar pelacakan realitas, pengetahuan
dan ilmu pengetahuan semakin kaya. Secara sederhana ontologi bisa dirumuskan
sebagai ilmu yang mempelajari realitas atau kenyataan konkret secara kritis.
Realita itu yang menarik perhatian para ilmuan. Tanpa realitas, kita sulit
menyebut di dunia ini ada bermacam-macam air, bunga, angin, jamur, dan
lain-lain. Realitas pula yang hendak menyadarkan manusia hingga tahu, bahwa
ketika orang minum teh, sebenarnya sedang menikmati bunga, air, daun, dan
sebagainya. Biarpun hanya minum teh, sebenarnya manusia tengah berfikir ribuan
orang yang menghasilkan teh itu. Jadi, ontologi akan menguraikan asal-usul
suatu fenomena secara mendasar atas dasar fakta-fakta, data-data, dan metode
yang mantap. Sedangkan epistimologi merupakan persoalan
bagaimana menemukan kebenaran tentang suatu objek materi, melalui berbagai
macam sudut pandang (objek forma), metoda dan sistem. Menurut Suriasumantri
aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan
yang diperoleh. Aksiologi meliputi nilai-nilai, parameter bagi apa yang disebut
sebgai kebenaran atau kenyataan itu, sebagaimana kehidupan kita yang
menjelajahi kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan fisik materiil, dan
kawasan simbolik yang masing-masing menunjukan aspeknyasendiri-sendiri. Lebih
dari itu, aksiologi juga mennjukan kaidah-kaidah apa yang harus kita perhatikan
di dalam menerapkan ilmu kedalam praksis.
B. Kemampuan Manusia
Mengembangkan Pengetahuan
Sejarah dunia telah menunjukkan
peradaban yang lebih maju menaklukkan peradaban yang lebih terbelakang. Yang
menang selanjutnya bisa saja ditaklukkan oleh peradaban lain lagi yang lebih
maju. Kadang kalanya terjadi pengecualian di mana bangsa barbar mampu
menaklukkan bangsa yang lebih maju seperti pada kasus invasi Mongol pada masa
Genghis Khan. Pada intinya yang kuat bertahan, yang lemah ditaklukkan.
Ilmu pengetahuan, menjadi
perintis yang membuat kemajuan teknologi menjadi lebih pesat dan tak
terbayangkan. Ia melampaui batas-batas praktis ke ranah abstrak yang sulit
dijangkau pikiran. Ilmu pengetahuan sendiri sebenarnya baru berkembang pada dua
milenium terakhir. Namun bisa kita lihat sendiri betapa pesatnya perkembangan
yang terjadi pada dua milenium terakhir ini.
Ilmu pengetahuan pun tidak
berjalan linear. Ia dapat timbul dan tenggelam. Ia hanyut bersama dalam
perkembangan peradaban manusia. Kapal dengan lambung melengkung yang merajai
Mediterania di jaman Yunani kuno hilang ditelan peradaban dan baru ditemukan
kembali pada era eksplorasi pada abad pertengahan.
C.
Metoda Ilmiah
Metoda ilmiah merupakan prosedur dalam
mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu (Budimansyah, 2013:42). Tapi, tidak
semua pengetahuan disebut ilmu. Karena syarat-syarat untuk mendapatkan
pengetahuan yang disebut ilmu tercantum dalam metoda ilmiah (scientific
method). Menurut tim rosda dalam kamus filsafat (1995:204) pengertian
scientific method adalah sebuah sistem konseptual empiris, eksperimental,
logicomathematical yang mengelola dan menghubungkan fakta-fakta dalam sebuah
struktur teori dan inferensi. Oleh karena itu, pengetahuan yang akan dihasilkan
diharapkan memiliki karakteristik sebagai pengetahuan ilmiah yang memiliki
sifat rasional dan teruji. Dalam hal ini maka metoda ilmiah merupakan cara
berfikir gabungan antara rasional (deduktif) dan empirik (induktif).
Secara rasional ilmu meyusun pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif,
sedangkan secara empirik ilmu memisahkan pengetahuan yang sesuai dengan fakta
dari yang tidak. Secara sederhana maka hal ini berarti bahwa semua teori ilmiah
harus memenuhi dua syarat utama yakni (a) harus konsisten dengan teori-teori
sebelumnya yang memungkinkan tidak terjadinya kontradiksi dalam teori keilmuan
secara keseluruhan, dan (b) harus cocok dengan fakta-fakta empirik, sebab teori
yang bagaimana pun konsistennya jika tidak didukung oleh pengujian empirik
tidak dapat diterima kebenarannya secara ilmiah. Sehubungan dengan komitmen
bahwa logika ilmiah itu merupakan gabungan antara logika deduktif dengan logika
induktif, maka semua penjelasan rasional yang diajukan sebelum teruji kebenarannya
secara empirik hanyalah bersifat sementara. Inilah yang kita kenal dengan nama hipotesis.
Hipotesis merupakan dugaan atau jawaban sementara terhadap permaslahan yang
sedang kita hadapi. Dalam melakukan penelitian untuk mendapatkan jawaban yang
benar maka seorang ilmuawan seakan-akan melakukan suatu ’interogasi terhadap
alam’. Alur berpikir yang tercakup dalam metoda ilmiah dapat dijabarkan dalam
beberapa langkah yang mencerminkan tahap-tahap dalam kegiatan ilmiah. Kerangka
berpikir ilmiah yang berintikan proses
logiko-hipotetiko-verifikatif ini pada dasarnya terdiri atas langkah-langkah
sebagai berikut:
1.
Perumusan
masalah,
2.
Penyusunan
kerangka berpikir,
3.
Perumusan
hipotesis,
4.
Pengujian
hipotesis,
5.
Penarikan
kesimpulan,
Ilmu secara kuantitatif dikembangkan oleh komunitas ilmuawan secara
keseluruhan, meskipun secara kualitatif memang diakui adanya beberapa ilmuawan
jenius sebagai peletak landasan baru yang bersifat mendasar bagi perkembangan
ilmu tersebut, seperti misalnya Newton dan Albert Einstein dalam ilmu-ilmu alam
dan Max Weber, Emile Durkheim, dan Talcott Parsons dalam ilmu-ilmu sosial.
Pada hakekatnya pengetahuan ilmiah atau ilmu mempunyai 3 fungsi, yakni menjelaskan, meramalkan, dan mengontrol. Penjelasan keilmuan
memungkinkan kita meramal apa yang
akan terjadi, dan berdasarkan ramalan tersebut kita bisa melakukan upaya untuk mengontrol apakah ramalan itu menjadi
kenyataan atau tidak. Misalnya pengetahuan tentang adanya kaitan antara hutan
gundul dan banjir memungkinkan kita untuk bisa meramalkan apa yang akan terjadi
seandainya hutan-hutan terus ditebagi hingga gundul. Seandainya kita tidak
menginginkan timbulnya banjir sebagaimana diramalkan jika hutan gundul, maka
kita harus melakukan kontrol agar hutan-hutan tidak dibiarkan menjadi gundul,
misalnya dengan menanami kembali hutan yang ditebang itu.
1.
Teori
Posisi teori dalam
disiplin keilmuan amat strategis. Pada hakekatnya tujuan akhir setiap disiplin
keilmuan adalah mengembangkan teori yang bersifat utuh dan konsisten.
2.
Hukum
Hukum pada hakekatnya
merupakan pernyataan yang menyatakan hubungan antara dua variabel atau lebih
dalam suatu hubungan sebab-akibat (kausalitas). Posisi hukum berada dalam
sebuah teori. Pernyataan yang berupa hubungan sebab-akibat atau hubungan kausalitas
Prinsip
Disamping hukum dalam
sebuah teori keilmua juga dikenal ada kategori pernyataan yang disebut prinsip. Prinsip dapat diaritkan sebagai
pernyataan yang berlaku secara umum bagi sekelompok gejala tertentu, yang mampu
menjelaskan kejadian yang terjadi
3.
Postulat
Postulat adalah
asumsi dasar yang kebenarannya kita terima tanpa dituntut pembuktiannya. berbeda dengan kebenaran ilmiah yang
harus disahkan melalui suatu proses yang disebut metoda ilmiah, postulat
ditetapkan tanpa melalui prosedur ilmiah melainkan ditetapkan begitu saja.
4.
Asumsi
Asumsi merupakan
kebalikan dari postulat. Bila postulat dalam mengajukan argumentasinya tidak
memerlukan bukti tentang kebenarannya, sedangkan asumsi harus ditetapkan dalam
sebuah argumentasi ilmiah. Agar tidak
memilih cara yang keliru, maka asumsi yang kita pegang kebenarannya harus
dibuktikan.
D.
Karya
ilmiah
1. Definisi
Karya Ilmiah
Ada
beberapa definisi karya ilmiah menurut para ahli, diantaranya yaitu:
- Decrates (1957), hasil kerja pikir tentang realitas sesuatu yang diaktualisasikan melalui langkah-langkah sistematik dan sistemik dengan menggunakan metode yang dapat dipertanggungjawabkan. Realitas sesuatu yang merupakan objek material bagi aktivitas berpikir manusia yang dilakukan secara serius. Sementara itu, pemikiran yang melatari kesadaran hasrat manusia untuk berpikir, merupakan objek formal atau paradigma yang digunakan sebagai belati analisisnya dalam mengkaji objek material.
- Karya ilmiah adalah karangan ilmu pengetahuan yang menyajikan fakta dan ditulis menurut metodologi penulisan yang baik dan benar.(brotowidjoyo)
- Karya ilmiah adalah tulisan yang didasari oleh hasil pengamatan, peninjauan, penelitian dalam bidang tertentu, disusun menurut metode tertentu dengan sistematika penulisan yang bersantun bahasa dan isinya dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya/keilmiahannya (susilo, m. Eko, 1995:11).
Dapat
disimpulkan bahwa karya ilmiah adalah suatu tulisan atau laporan berisi fakta
berdasarkan suatu pengamatan atau penelitian yang dilakukan dan ditulis dengan
metode dan sistematika penulisan yang benar.
2. Kelompok
Karya Ilmiah
Karya ilmiah dapat dikelompokkan menjadi
dua, tertulis dan tidak tertulis.
- Tertulis, karya ilmiah dalam bentuk tulisan berisikan pemikiran teoritis yang menjelaskan tentang realitas tertentu sebagai objek materialnya. Tumbuh dan berkembang di ilmu-ilmu social, contohnya makalah, laporan penelitian akademis, dll.
- Tidak tertulis, karya ilmiah yang berwujud benda material sebagai hasil aktualisasi ilmu pengetahuan dalam bentuk keterampilan. Tumbuh dan berkembang di ilmi-ilmu eksak dan kealaman, cntohnya budidaya sayuran organic, dll.
3. Standarisasi
Karya Ilmiah
Suatu karya bisa dikatakan ilmiah jika
memenuhi standar kriteria karya ilmiah, diantaranya:
- Orisinalitas, dimana sebuah karya harus didukung oleh data faktual yang membuktikan orisinalitas dari pencetus atau penciptanya dan bukan sebagai diplikasi dari karya lain.
- Dapat dipertanggungjawabkan, karya ini dapat diminta pertanggungjawabannya. Pencetus atau pencipta memberikan penjelasan tentang karya nya, dari latar pemikiran hingga pada tahapan pelaksanaan proses kerja yang kemudian menghasilkan karya.
- Bernilai, sebuah karya yang dihasilkan mengandung nilai-nilai positif bagi kemashlahatan atau kebaikan hidup manusia dan pengembangan ilmu pengetahuan.
4. Ciri-ciri
Karya Ilmiah
- Objektif
Keobjektifan
ini tampak pada setiap fakta dan data yang diungkapkan berdasarkan kenyataan
yang sebenarnya, tidak dimanipulasi. Juga setiap pernyataan atau simpulan yang
disampaikan berdasarkan bukti-bukti yang bisa dipertanggungjawabkan. Dengan
demikian, siapa pun dapat mengecek (memvertifikasi) kebenaran dan keabsahannya.
- Netral
Kenetralan
ini bisa terlihat pada setiap pernyataan atau penilaian bebas dari
kepentingan-kepentingan tertentu baik kepentingan pribadi maupun kelompok. Oleh
karena itu, pernyataan-pernyataan yang bersifat mengajak, membujuk, atau
mempengaruhi pembaca perlu dihindarkan.
- Sistematis
Uraian
yang terdapat pada karya ilmiah dikatakan sistematis apabila mengikuti pola
pengembangan tertentu, misalnya pola urutan, klasifikasi, kausalitas, dan
sebagainya. Dengan cara demkian, pembaca akan bisa mengikutinya dengan mudah
alur uraiannya, sesuai dengan metode ilmiah.
- Logis
Kelogisan
ini bisa dilihat dari pola berpikir yang
digunakannya, pola berikir induktif atau
deduktif. Kalau bermaksud menyimpulkan suatu fakta atau data digunakan pola
induktif; sebaliknya, kalau bermaksud membuktikan suatu teori atau hipotesis
digunakan pola deduktif.
- Menyajikan fakta (bukan emosi atau perasaan)
Setiap
pernyataan, uraian, atau simpulan dalam karya ilmiah harus faktual, yaitu
menyajikan fakta. Oleh karena itu, pernyataan atau ungkapan yang emosional
hendaknya dihindarkan.
- Tidak pleonastic
Kata-kata
yang digunakan tidak berlebihan alias hemat. Kata-katanya jelas atau tidak
berbelit- belit (langsung tepat menuju sasaran).
- Bahasa yang digunakan adalah ragam formal.
Selain itu, untuk dapat membedakan karya
ilmiah dengan karya non ilmiah kita dapat mengkategorisaikan sebuah karya itu
ilmiah, jika;
- Berisikan hasil kajian pemikiran tentang suatu tema yang dideskripsikan dengan menggunakan argumentasi ilmiah;
- Analisis pemikiran diuraikan dengan menggunakan metode ilmiah;
- Pemaparan menggunakan bahasa ilmiah yang diruntun secara sistemik dan sistematik;
- Arah dari isi pemaparan bersifat netral atau tidak berpihak.
5. Sifat
Karya Ilmiah
Sebuah karya ilmiah jika dilihat dari
proses dan tujuan penulisannya, dapat dikategorikan ke dalam dua sifat,
diantaranya:
- Bebas
Sebuah karya ilmiah
ditulis dengan mengedepankan kebebasan penulis dalam mengekspresikan ide-ide
pemikirannya. Dimana seorang penulis tidak terikat dengan kepentingan ide atau
pemikiran tertentu. Demikian pula dengan kebebasannya untuk tidak terikat pada
ketentuan teknis penulisan. Contohnya artikel, buku dan makalah.
- Terikat
Sebuah karya tulis ilmiah, yang dalam
proses penulisannya, si penulis harus mengikuti aturan, baik aturan teknis
maupun aturan non teknis berupa arah pemikiran yang dikehendaki oleh pihak
sponsor. Contohnya book review, laporan penelitian akademis (skripsi, tesis,
disertasi), project research dan makalah (tugas kuliah).
E.
Argumentasi
Menurt
(Budimansyah, 2013) istilah argumentasi merupakan bentuk penerimaan atau
penolakan terhadap sebuah penjelasan. Istilah argumentasi juga dapat diartikan
sebagai salah satu bentuk kalimat yang tentang pernyataan menerima (afirmasi) atau menolak (negasi) sebuah penjelasan tentang
sesuatu. Kedua bentuk pernyataan diungkapkan bersifat rasional sesuai bangunan
paradigma pemikiran atau latar pengetahuan dari pihak yang berargumentasi.
Paradigma pemikiran
yang digunakan dalam menyusun asumsi rasional menjadi dasar bagi penetapan
kriteria ilmiah nya sebuah argumentasi. Budimansyah (2013: 52) menjelas kriteria
lain bagi sebuah argumentasi ilmiah sebagai
berikut:
1. Logis
: Sesuai dengan aturan logika.
2. Rasional
: Merupakan hasil kerja dan dipahami serta dicerna oleh rasio.
3. Fokus
: Paparan tidak bersifat un-visible
(tidak mengarah / tidak memiliki kejelasan visi).
4. Faktual
: Didukung oleh fakta dan data empiris.
5. Objektif
: Netral atau tidak memihak.
6. Teoritis
: Dapat didukung oleh teori tertentu, atau bahkan menjadi embrio bagi
terbentuknya teori baru.
7. Konklusi
: Dapat menjadi dasar bagi penarikan konklusi atau simpulan.
8. Analitik
: Menggunakan bahasa ilmiah, sesuai dengan wilayah keilmuan.
Dalam penulisan
karya ilmiah, terdapat beberapa jenis argumentasi yang biasa digunakan oleh
seorang penulis. Kategori jenis argumentasi terlihat dari bentuk serta isi
paparan yang terkandung dalam kalimatnya. Jenis-jenis argumentasi ini sekaligus
menjadi gambaran tentang sifat dari argumen yang digunakan oleh seorang penulis
karya ilmiah. Penggunaan jenis argumentasi sangat tergantung dari tujuan
penulis dalam mengungkapkan argumentasinya. Jenis-jenis argumentasi dimaksud menurt
(Budimansyah, 2013) adalah:
1. Argumentasi
Deskriptis
Berisikan hasil pembacaan dan kajian
penulis tentang suatu realitas dengan berdasar pada paradigma keilmuan
tertentu. Jenis argumentasi ini biasanya digunakan oleh para penulis yang
bertujuan untuk mengungkapkan realitas sesuai dengan kondisi faktual. Dalam
dunia akademis, argumentasi jenis ini sering digunakan oleh mahasiswa strata
satu (S.1) dalam penulisan skripsi.
2. Argumentasi
Analisis
Berisikan hasil analisa penulis tentang
suatu reallitas dengan berdasar pada paradigma keilmuan yang dimiliki dan dikuasainya.
Latar keilmuan seorang penulis akan ikut
menyertai proses penarikan konklusi atau simpulan yang dibangun dari hasil
rancangan argumentasinya. Jenis argumentasi ini merupakan gaya penalaran ilmiah
di kalangan mahasiswa strata dua (S.2) dalam menyusun tesis.
3. Argumentasi
Reflektif
Berisikan hasil kajian dan tafsiran
penulis terhadap suatu realitas dengan menggunakan paradigma keilmuan yang
sudah inheren dalam bangunan pemikirannya. Penggunaan argumentasi jenis ini
memungkinkan seorang penulis melahirkan pemikiran baru, baik dalam bentuk
paradigma atau bahkan dalam bentuk teori. Argumentasi jenis ini seharusnya
menjadi gaya penulisan mahasiswa program doctor atau strata 3 (S.3).
Sebagai sebuah
aktivitas ilmiah, argumentasi terlahir dari proses berpikir kritis dan
kehorensif. Proses tersebut memiliki dua pola atau gaya yaitu: deduktif dan induktif.
Kedua pola atau gaya berpikir ini digunakan oleh para penulis atau peneliti
yang menggunakan bentuk pendekatan tulisan berbeda. Budimansyah (2013)
meyebutkan pola berpikir deduktif digunakan oleh para penulis atau peneliti
yang menggunakan bentuk pendekatan kualitatif sedangkan pola berpikir induktif
digunakan dalam bentuk pendekatan kuantitatif.
1. Pola
Pikir Deduktif
Proses berpikir
dari hal yang bersifat umum kepada hal yang bersifat khusus. Pola berpikir
deduktif pertama kali diperkenalkan oleh Aristoteles (384 – 322 SM), seorang
filsuf berkebangsaan Yunani, dalam bentuk silogisme
melalui karyanya yang berjudul ‘Organon’. Pola pikir deduktif, yang berbasis pada
silogisme Aristotelian, terbangun dari tiga kategori, yaitu premis mayor,
premis minor dan konklusi. Premis mayor berbentuk asumsi umum yang kemudian
diturunkan ke dalam premis minor sebagai asumsi khusus, dan dari keduanya baru
lah dapat ditarik konklusi atau simpulan. Kategori ini lah yang kemudian
dikenal sebagai silogisme kategoris.
2. Pola
Pikir Induktif
Proses berpikir
yang bermula dari hal khusus atau kecil untuk kemudian dijadikan sebagai dasar
bagi penyimpulan yang diharapkan dapat diberlakukan pada hal yang lebih umum
atau besar. Dalam lintasan sejarah filsafat dan ilmu, pola pikir ini pertama
kali diperkenalkan oleh Sir Francis Bacon (1561 – 1626), seorang filsuf
berkebangsaan Inggris, melalui karya fenomenalnya yang berjudul “Novum Organum”
(1620). Pola pikir induktif dihadirkan oleh Bacon sebagai bentuk kritiknya
terhadap pola pikir deduktif yang ditawarkan oleh Aristoteles.
F.
Sarana
Penalaran Ilmiah
Sarana Penalaran
Ilmiah dapat dipahami sebagai fasilitas yang digunakan dalam merancang pemikiran.
Setiap bangunan keilmuan akan menggunakan sarana penalaran yang berbeda.
Ilmu-ilmu sosial lebih cenderung menggunakan logika bahasa sebagai sarana
penalarannya. Sementara, ilmu-ilmu eksak dan kealaman lebih mengedepankan
statistik angka-angka sebagai sarana penalaran ilmiah.
Sebagai
sebuah kesejatian, penalaran merupakan proses berpikir kritisnya manusia,
sehingga apapun dan di wilayah manapun kajian keilmuan dilakukan, sarana utama
dan pertama yang digunakan adalah ‘rasio’. Aktivitas rasional adalah
keniscayaan yang tidak terbantahkan dalam naturalitas berpikir manusia. Oleh
karenanya, semua ilmu pengetahuan yang tumbuh dan berkembang dalam ruang
peradaban manusia pasti menjadikan rasio sebagai sarana penalaran ilmiahnya.
Rasio
adalah alat sekaligus sarana yang dapat menangkap berbagai fenomena dan
kemudian memprosesnya dalam aktivitas kerja yang disebut berpikir (Budimansyah,
2013). Dari aktivitas ini terlahirlah pemikiran yang diungkapkan melalui
bahasa. Dengan kata lain, bahasa adalah rumah bagi pemikiran manusia yang
terlahir dari hasil kerja rasio.
Menurut
Budimansyah (2013) dikatakan benar secara ilmiah jika memiliki beberapa
kriteria. Diantara kriteria tersebut, yang dikenal sebagai kriteria kebenaran
ilmiah adalah sebagai berikut.
1. Kebenaran
Pragmatis, yaitu kebenaran yang menjadikan nilai manfaat dari sebuah pernyataan
sebagai standar pembenarannya.
2. Kebenaran
Korespondensif, yaitu kebenaran yang menjadikan kepastian relasi antara
pernyataan dengan isi atau materi yang dimaksudkan dari pernyataan, sebagai
standar pembenarannya.
3. Kebenaran
Koherensif, yaitu kebenaran yang menitikberatkan pada adanya unsur
keterhubungan antara bagian-bagian dari objek yang dimaksudkan dalam ungkapan.
4. Kebenaran
Spekulatif, kebenaran yang bersumber pada perkiraan-perkiraan, dimana perumusan
perkiraan-perkiraan didasarkan pada pengalaman yang berulang.
Budimansyah
(2013) juga menjelaskan bahwa dari keempat bentuk kebenaran ini, hanya
kebenaran korenpondensif dan kebenaran koherensif yang dapat dikategorikan ke
dalam kebenaran ilmiah, karena keduanya memenuhi persyatan bagi sebuah
kebenaran ilmiah, yaitu:
1. Dapat
dibuktikan sebagai wujud pertanggungjawaban;
2. Dapat
dijelaskan secara logis – rasional;
3. Mengandung
alur pemikiran sistematis dan sistemik;
4. Bersifat
objektif
BAB III
KESIMPULAN
Pengetahuan merupakan sesuatu yang diketahui langsung dari
pengalaman, berdasarkan pancaindra, dan diolah oleh akal budi secara spontan
yang bersifat spontan, subjektif dan intuitif. Seorang ilmuwan yang merupakan
orang berpengetuhuan harus peka akan fenomena yang terjadi di dunia ini, baik
fenomena alam fisik, alam hayati, termasuk fenomena manusia sebagai individu,
insan social, politik, ekonomi maupun sebagai hamaba Tuhan Yang maha Esa. Atas dasar pelacakan realitas
oleh ilmuan pengetahuan dan ilmu pengetahuan semakin kaya. Ilmu
pengetahuan, menjadi perintis yang membuat kemajuan teknologi menjadi lebih
pesat dan tak terbayangkan. Ilmu pengetahuan pun dapat timbul dan tenggelam
serta hanyut bersama dalam perkembangan peradaban manusia.
Tapi,
tidak semua pengetahuan disebut ilmu. Karena syarat-syarat untuk mendapatkan
pengetahuan yang disebut ilmu tercantum dalam metoda ilmiah yang
bersifat konseptual empiris, eksperimental, logicomathematical
yang mengelola dan menghubungkan fakta-fakta dalam sebuah struktur teori dan
inferensi. Dalam hal ini maka metoda ilmiah merupakan cara berfikir gabungan
antara rasional (deduktif) dan empirik (induktif). Dikatakan benar secara ilmiah jika hasil pemikiran meiliki manfaat, kepastian
relasi antara pernyataan dengan isi, keterhubungan antara bagian-bagian dari
objek yang dimaksudkan dalam ungkapan, dan dasar yang dirumuskan lewat
pengalaman yang berulang. Selain itu, hasil pemikiran juga harus bisa dibuktikan sebagai wujud pertanggungjawaban,
bisa dijelaskan secara logis – rasional, mengandung alur pemikiran sistematis
dan sistemik dan ersifat objektif
DAFTAR
PUSTAKA
Budimansyah, D. (2013). Filsafat Ilmu:Cara kerja Ilmuan. Bandung:
SPs UPI.
Brotowidjoyo, M. 1985. Penulisan Karangan Ilmiah. Jakarta: Akademika
Pressindo.
Endraswara Swardi, Filsafat Ilmu. PT Buku
Seru. Yogyakarta. Cet ke-1. 2012
Hamied, F.A. (Penyunting).
2012. Filsafat Ilmu. Bandung: SPs UPI. <Masih dalam proses penyuntingan>
Suhartono, S. 2008. Filsafat
Ilmu Pendidikan. Jogja: Ar-Ruz media.
Suriasumantri,
J. S. 1990. Filsafat Ilmu Sebuah
Pengantar Populer, Jakarta: Sinar Harapan.
Suriasumantri, J. S. 1996. Filsafat Ilmu. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
http://dorokabuju.blogspot.com/2012/05/hakikat-ilmu-pengetahuan.html access on Wednesday, November 5th, 2014 at
11.31 WIB
http://www.bimbie.com/mendapatkan-ilmu-pengetahuan.htm access on Wednesday, November
5th, 2014, 14.18 WIB
0 komentar:
Posting Komentar