Selasa, 05 Januari 2016

CARA KERJA ILMUAN

Posted by Unknown On 07.57 | No comments

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pengetahuan (knowledge) adalah sesuatu yang diketahui langsung dari pengalaman, berdasarkan pancaindra, dan diolah oleh akal budi secara spontan. Pada intinya, pengetahuan bersifat spontan, subjektif dan intuitif. Pengetahuan dapat dibedakan menjadi pengetahuan non-ilmiah dan pengetahuan pra-ilmiah. Pengetahuan non-ilmiah adalah hasil serapan indra terhadap pengalaman hidup sehari-hari yang tidak perlu dan tidak mungkin diuji kebenarannya. Sedangkan pengetahuan pra-ilmiah adalah hasil serapan indra dan pemikiran rasional yang terbuka terhadap pengujian lebih lanjut menggunakan metode-metode ilmiah, dituangkan kedalam karya ilmiah, dengan menggunakan penjelasan ilmunya dengan argumentasi ilmiah, dan membuktikan kebenaran ilmunya berdasarkan kriteri tertentu.
Seorang ilmuwan harus peka akan fenomena yang terjadi di dunia ini, baik fenomena alam fisik, alam hayati, termasuk fenomena manusia sebagai individu, insan social, politik, ekonomi maupun sebagai hamaba Tuhan Yang maha Esa. Banyak aspek yang berhubungan dengan bagaimana seorang ilmuwan bekerja. Yang mana proses bekerja seorang ilmuwan berkaitan erat dengan cara kerja seorang ilmuwan.


B.     Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Apa yang dimaksud dengan hakikat pengetahuan?
2.      Bagaimana cara mengggunakan metode ilmiah?
3.      Bagaimana suatu karya disebut karya ilmiah?
4.      Bagaimana menjelaskan ilmu dengan argumentasi ilmiah?
5.      Bagaimana menggunakan sarana berfikir ilmiah?
6.      Bagaimana cara membuktikan kebenaran berdasarkan kriteria tertentu?

C.    Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini untuk berbagi pengetahuan dan wawasan mengenai cara kerja ilmuwan kepada masyarakat awam pada umumnya dan kaum intelektual (mahasiswa) pada khususnya.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A.    Hakikat Ilmu Pengetahuan
Khazanah kehidupan manusia yang begitu luas memang memungkinkan menguasai segala pengetahuan. Satu orang menguasai berbagai ilmu pegetahuan mulai dari yang sederhana sampai ke yang kompleks. Tiap pengetahuan tentu ada berbagai ciri khas. Hal ini memungkinkan kita mengenali berbgai pengetahuan yang ada seperti ilmu pengetahuan, seni, dan agama serta meletakkan mereka pada tempatnya masing-masing yang saling memperkaya kehidupan kita. Orang dapat mengenal hakikat, sastra, dan budaya menurut katagori tertentu. Tanpa mengenal kategori atau ciri-ciri tiap pengetahuan dengan benar maka bukan saja kita dapat memanfaatkan kegunaannya secara maksimal namun kadang kita bisa terjerumus. Pengetahuan dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang diketahui manusia. Manusia adalah makhluk hidup ciptaan Tuhan yang paling sempurna dibandingkan makluk lain (hewan dan tumbuhan). Manusia makhluk yang paling sempurna karena manusia mempunyai akal yang selalu berkembang, sedangkan hewan mempunyai akal tetapi akalnya tidak berkembang atau disebut dengan insting.
Pengetahuan (knowledge) adalah sesuatu yang diketahui langsung dari pengalaman, berdasarkan panca indra, dan diolah oleh akal budi secara spontan. Pengetahuan masih pada tataran inderawi dan spontanitas, belum ditata melaui metode yang jelas. Pada intinya, pengetahuan bersifat spontan, subjektif dan intuitif. Pengetahuan berkaitan erat dengan kebenaran, yaitu kesesuaian antara pengetahuan yang dimiliki manusia dengan realitas yang ada pada objek. Pengetahuan juga dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang diketahui manusia. Manusia adalah makhluk hidup ciptaan Tuhan yang paling sempurna dibandingkan makluk lain (hewan dan tumbuhan). Manusia makhluk yang paling sempurna karena manusia mempunyai akal yang selalu berkembang, sedangkan hewan mempunyai akal tetapi akalnya tidak berkembang atau disebut dengan insting. Namun, kadang-kadang kebenaran yang ada dalam pengetahuan masih belum tertata rapi, belum teruji secara metodologis. Orang melihat gunung meletus, itu pengetahuan. Orang merasakan gempa, lalu lari tunggang langgang ke luar rumah, itu pengetahuan. Pengetahuan masih sering bercampur dengan insting.

Ilmu (sains) berasal dari bahasa latin scientin yang berarti knowledge. Ilmu dipahami sebagai proses penyelidikan yang berdisiplin tertentu. Ilmu bertujuan untuk meramalkan dan memahami gejala-gejala alam. Meramalkan tidak lain sebuah proses. Meramalkan bisa saja melalui penafsiran. Ilmu sebenarnya juga sebuah pengetahuan, namun telah melalui proses penataan yang sistematis. Ilmu telah memiliki metodologi yang andal. Ilmu dan pengetahuan sering kali dikaitkan, hingga membentuk dunia ilmiah. Gabungan ilmu dan pengetahuan selalu terjadi di raanah penelitian apapun. Ilmu tanpa pengetahuan tentu sulit terjadi. Pengetaahuan yang disertai ilmu, jelas akan lebih esensial.
Ilmu pengetahuan ialah ilmu pengetahuan yang telah diolah kembali dan disusun secara metodis, sistematis, konsisten, dan koheren. Inilah ciri-ciri ilmu pengetahuan, yang membedakan dengan pengetahuan biasa. Agar pengetahuan menjadi ilmu, maka pengetahuan tadi harus dipilih (menjadi suatu bidang tertentu dari kenyataan) dan disusun secara metodis, sistematis, serta konsisten. Pengetahuan dan ilmu pengetahuan tentu berkaitan dengan realitas. Orang yang mempelajari pengetahuan dan ilmu pengetahuan akan menelususri realitas secara cermat. Hakikat kenyataan atau realiats memang bisa didekati dari sisi ontologi dengan dua macam sudut padang yaitu kuantitatif dan kualitatif.
Atas dasar pelacakan realitas, pengetahuan dan ilmu pengetahuan semakin kaya. Secara sederhana ontologi bisa dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari realitas atau kenyataan konkret secara kritis. Realita itu yang menarik perhatian para ilmuan. Tanpa realitas, kita sulit menyebut di dunia ini ada bermacam-macam air, bunga, angin, jamur, dan lain-lain. Realitas pula yang hendak menyadarkan manusia hingga tahu, bahwa ketika orang minum teh, sebenarnya sedang menikmati bunga, air, daun, dan sebagainya. Biarpun hanya minum teh, sebenarnya manusia tengah berfikir ribuan orang yang menghasilkan teh itu. Jadi, ontologi akan menguraikan asal-usul suatu fenomena secara mendasar atas dasar fakta-fakta, data-data, dan metode yang mantap. Sedangkan epistimologi merupakan persoalan bagaimana menemukan kebenaran tentang suatu objek materi, melalui berbagai macam sudut pandang (objek forma), metoda dan sistem. Menurut Suriasumantri aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Aksiologi meliputi nilai-nilai, parameter bagi apa yang disebut sebgai kebenaran atau kenyataan itu, sebagaimana kehidupan kita yang menjelajahi kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan fisik materiil, dan kawasan simbolik yang masing-masing menunjukan aspeknyasendiri-sendiri. Lebih dari itu, aksiologi juga mennjukan kaidah-kaidah apa yang harus kita perhatikan di dalam menerapkan ilmu kedalam praksis.
B.     Kemampuan Manusia Mengembangkan Pengetahuan
Sejarah dunia telah menunjukkan peradaban yang lebih maju menaklukkan peradaban yang lebih terbelakang. Yang menang selanjutnya bisa saja ditaklukkan oleh peradaban lain lagi yang lebih maju. Kadang kalanya terjadi pengecualian di mana bangsa barbar mampu menaklukkan bangsa yang lebih maju seperti pada kasus invasi Mongol pada masa Genghis Khan. Pada intinya yang kuat bertahan, yang lemah ditaklukkan.
Ilmu pengetahuan, menjadi perintis yang membuat kemajuan teknologi menjadi lebih pesat dan tak terbayangkan. Ia melampaui batas-batas praktis ke ranah abstrak yang sulit dijangkau pikiran. Ilmu pengetahuan sendiri sebenarnya baru berkembang pada dua milenium terakhir. Namun bisa kita lihat sendiri betapa pesatnya perkembangan yang terjadi pada dua milenium terakhir ini.
Ilmu pengetahuan pun tidak berjalan linear. Ia dapat timbul dan tenggelam. Ia hanyut bersama dalam perkembangan peradaban manusia. Kapal dengan lambung melengkung yang merajai Mediterania di jaman Yunani kuno hilang ditelan peradaban dan baru ditemukan kembali pada era eksplorasi pada abad pertengahan.


 C.    Metoda Ilmiah
          Metoda ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu (Budimansyah, 2013:42). Tapi, tidak semua pengetahuan disebut ilmu. Karena syarat-syarat untuk mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu tercantum dalam metoda ilmiah (scientific method). Menurut tim rosda dalam kamus filsafat (1995:204) pengertian scientific method adalah sebuah sistem konseptual empiris, eksperimental, logicomathematical yang mengelola dan menghubungkan fakta-fakta dalam sebuah struktur teori dan inferensi. Oleh karena itu, pengetahuan yang akan dihasilkan diharapkan memiliki karakteristik sebagai pengetahuan ilmiah yang memiliki sifat rasional dan teruji. Dalam hal ini maka metoda ilmiah merupakan cara berfikir gabungan antara rasional (deduktif) dan empirik (induktif).

Secara rasional ilmu meyusun pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif, sedangkan secara empirik ilmu memisahkan pengetahuan yang sesuai dengan fakta dari yang tidak. Secara sederhana maka hal ini berarti bahwa semua teori ilmiah harus memenuhi dua syarat utama yakni (a) harus konsisten dengan teori-teori sebelumnya yang memungkinkan tidak terjadinya kontradiksi dalam teori keilmuan secara keseluruhan, dan (b) harus cocok dengan fakta-fakta empirik, sebab teori yang bagaimana pun konsistennya jika tidak didukung oleh pengujian empirik tidak dapat diterima kebenarannya secara ilmiah. Sehubungan dengan komitmen bahwa logika ilmiah itu merupakan gabungan antara logika deduktif dengan logika induktif, maka semua penjelasan rasional yang diajukan sebelum teruji kebenarannya secara empirik hanyalah bersifat sementara. Inilah yang kita kenal dengan nama hipotesis.
Hipotesis merupakan dugaan atau jawaban sementara terhadap permaslahan yang sedang kita hadapi. Dalam melakukan penelitian untuk mendapatkan jawaban yang benar maka seorang ilmuawan seakan-akan melakukan suatu ’interogasi terhadap alam’. Alur berpikir yang tercakup dalam metoda ilmiah dapat dijabarkan dalam beberapa langkah yang mencerminkan tahap-tahap dalam kegiatan ilmiah. Kerangka berpikir ilmiah yang berintikan proses logiko-hipotetiko-verifikatif ini pada dasarnya terdiri atas langkah-langkah sebagai berikut:
1.      Perumusan masalah,
2.      Penyusunan kerangka berpikir,
3.      Perumusan hipotesis,
4.      Pengujian hipotesis,
5.      Penarikan kesimpulan,
Ilmu secara kuantitatif dikembangkan oleh komunitas ilmuawan secara keseluruhan, meskipun secara kualitatif memang diakui adanya beberapa ilmuawan jenius sebagai peletak landasan baru yang bersifat mendasar bagi perkembangan ilmu tersebut, seperti misalnya Newton dan Albert Einstein dalam ilmu-ilmu alam dan Max Weber, Emile Durkheim, dan Talcott Parsons dalam ilmu-ilmu sosial.
Pada hakekatnya pengetahuan ilmiah atau ilmu mempunyai 3 fungsi, yakni menjelaskan, meramalkan, dan mengontrol. Penjelasan  keilmuan memungkinkan kita meramal apa yang akan terjadi, dan berdasarkan ramalan tersebut kita bisa melakukan upaya untuk mengontrol apakah ramalan itu menjadi kenyataan atau tidak. Misalnya pengetahuan tentang adanya kaitan antara hutan gundul dan banjir memungkinkan kita untuk bisa meramalkan apa yang akan terjadi seandainya hutan-hutan terus ditebagi hingga gundul. Seandainya kita tidak menginginkan timbulnya banjir sebagaimana diramalkan jika hutan gundul, maka kita harus melakukan kontrol agar hutan-hutan tidak dibiarkan menjadi gundul, misalnya dengan menanami kembali hutan yang ditebang itu.
1.      Teori
Posisi teori dalam disiplin keilmuan amat strategis. Pada hakekatnya tujuan akhir setiap disiplin keilmuan adalah mengembangkan teori yang bersifat utuh dan konsisten.
2.      Hukum
Hukum pada hakekatnya merupakan pernyataan yang menyatakan hubungan antara dua variabel atau lebih dalam suatu hubungan sebab-akibat (kausalitas). Posisi hukum berada dalam sebuah teori. Pernyataan yang berupa hubungan sebab-akibat atau hubungan kausalitas Prinsip
Disamping hukum dalam sebuah teori keilmua juga dikenal ada kategori pernyataan yang disebut prinsip. Prinsip dapat diaritkan sebagai pernyataan yang berlaku secara umum bagi sekelompok gejala tertentu, yang mampu menjelaskan kejadian yang terjadi
3.      Postulat
Postulat adalah asumsi dasar yang kebenarannya kita terima tanpa dituntut pembuktiannya. berbeda dengan kebenaran ilmiah yang harus disahkan melalui suatu proses yang disebut metoda ilmiah, postulat ditetapkan tanpa melalui prosedur ilmiah melainkan ditetapkan begitu saja.
4.      Asumsi
Asumsi merupakan kebalikan dari postulat. Bila postulat dalam mengajukan argumentasinya tidak memerlukan bukti tentang kebenarannya, sedangkan asumsi harus ditetapkan dalam sebuah argumentasi ilmiah.       Agar tidak memilih cara yang keliru, maka asumsi yang kita pegang kebenarannya harus dibuktikan.

D.    Karya ilmiah
1.      Definisi Karya Ilmiah
Ada beberapa definisi karya ilmiah menurut para ahli, diantaranya yaitu:
  1. Decrates (1957), hasil kerja pikir tentang realitas sesuatu yang diaktualisasikan melalui langkah-langkah sistematik dan sistemik dengan menggunakan metode yang dapat dipertanggungjawabkan. Realitas sesuatu yang merupakan objek material bagi aktivitas berpikir manusia yang dilakukan secara serius. Sementara itu, pemikiran yang melatari kesadaran hasrat manusia untuk berpikir, merupakan objek formal atau paradigma yang digunakan sebagai belati analisisnya dalam mengkaji objek material.
  2. Karya ilmiah adalah karangan ilmu pengetahuan yang menyajikan fakta dan ditulis menurut metodologi penulisan yang baik dan benar.(brotowidjoyo)
  3. Karya ilmiah adalah tulisan yang didasari oleh hasil pengamatan, peninjauan, penelitian dalam bidang tertentu, disusun menurut metode tertentu dengan sistematika penulisan yang bersantun bahasa dan isinya dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya/keilmiahannya (susilo, m. Eko, 1995:11).
Dapat disimpulkan bahwa karya ilmiah adalah suatu tulisan atau laporan berisi fakta berdasarkan suatu pengamatan atau penelitian yang dilakukan dan ditulis dengan metode dan sistematika penulisan yang benar.
2.      Kelompok Karya Ilmiah
Karya ilmiah dapat dikelompokkan menjadi dua, tertulis dan tidak tertulis.
  1. Tertulis, karya ilmiah dalam bentuk tulisan berisikan pemikiran teoritis yang menjelaskan tentang realitas tertentu sebagai objek materialnya. Tumbuh dan berkembang di ilmu-ilmu social, contohnya makalah, laporan penelitian akademis, dll.
  2. Tidak tertulis, karya ilmiah yang berwujud benda material sebagai hasil aktualisasi ilmu pengetahuan dalam bentuk keterampilan. Tumbuh dan berkembang di ilmi-ilmu eksak dan kealaman, cntohnya budidaya sayuran organic, dll.
3.      Standarisasi Karya Ilmiah
Suatu karya bisa dikatakan ilmiah jika memenuhi standar kriteria karya ilmiah, diantaranya:
  1. Orisinalitas, dimana sebuah karya harus didukung oleh data faktual yang membuktikan orisinalitas dari pencetus atau penciptanya dan bukan sebagai diplikasi dari karya lain.
  2. Dapat dipertanggungjawabkan, karya ini dapat diminta pertanggungjawabannya.  Pencetus atau pencipta memberikan penjelasan tentang karya nya, dari latar pemikiran hingga pada tahapan pelaksanaan proses kerja yang kemudian menghasilkan karya.
  3. Bernilai, sebuah karya yang dihasilkan mengandung nilai-nilai positif bagi kemashlahatan atau kebaikan hidup manusia dan pengembangan ilmu pengetahuan.
4.      Ciri-ciri Karya Ilmiah
  1. Objektif
Keobjektifan ini tampak pada setiap fakta dan data yang diungkapkan berdasarkan kenyataan yang sebenarnya, tidak dimanipulasi. Juga setiap pernyataan atau simpulan yang disampaikan berdasarkan bukti-bukti yang bisa dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, siapa pun dapat mengecek (memvertifikasi) kebenaran dan keabsahannya.
  1. Netral
Kenetralan ini bisa terlihat pada setiap pernyataan atau penilaian bebas dari kepentingan-kepentingan tertentu baik kepentingan pribadi maupun kelompok. Oleh karena itu, pernyataan-pernyataan yang bersifat mengajak, membujuk, atau mempengaruhi pembaca perlu dihindarkan.
  1. Sistematis
Uraian yang terdapat pada karya ilmiah dikatakan sistematis apabila mengikuti pola pengembangan tertentu, misalnya pola urutan, klasifikasi, kausalitas, dan sebagainya. Dengan cara demkian, pembaca akan bisa mengikutinya dengan mudah alur uraiannya, sesuai dengan metode ilmiah.
  1. Logis
Kelogisan ini bisa dilihat dari pola berpikir  yang digunakannya, pola berikir  induktif atau deduktif. Kalau bermaksud menyimpulkan suatu fakta atau data digunakan pola induktif; sebaliknya, kalau bermaksud membuktikan suatu teori atau hipotesis digunakan pola deduktif.
  1. Menyajikan fakta (bukan emosi atau perasaan)
Setiap pernyataan, uraian, atau simpulan dalam karya ilmiah harus faktual, yaitu menyajikan fakta. Oleh karena itu, pernyataan atau ungkapan yang emosional hendaknya dihindarkan.
  1. Tidak pleonastic
Kata-kata yang digunakan tidak berlebihan alias hemat. Kata-katanya jelas atau tidak berbelit- belit (langsung tepat menuju sasaran).
  1. Bahasa yang digunakan adalah ragam formal.

Selain itu, untuk dapat membedakan karya ilmiah dengan karya non ilmiah kita dapat mengkategorisaikan sebuah karya itu ilmiah, jika;
  1. Berisikan hasil kajian pemikiran tentang suatu tema yang dideskripsikan dengan menggunakan argumentasi ilmiah;
  2. Analisis pemikiran diuraikan dengan menggunakan metode ilmiah;
  3. Pemaparan menggunakan bahasa ilmiah yang diruntun secara sistemik dan sistematik;
  4. Arah dari isi pemaparan bersifat netral atau tidak berpihak.
5.      Sifat Karya Ilmiah
Sebuah karya ilmiah jika dilihat dari proses dan tujuan penulisannya, dapat dikategorikan ke dalam dua sifat, diantaranya:
  1. Bebas
Sebuah karya ilmiah ditulis dengan mengedepankan kebebasan penulis dalam mengekspresikan ide-ide pemikirannya. Dimana seorang penulis tidak terikat dengan kepentingan ide atau pemikiran tertentu. Demikian pula dengan kebebasannya untuk tidak terikat pada ketentuan teknis penulisan. Contohnya artikel, buku dan makalah.
  1. Terikat
Sebuah karya tulis ilmiah, yang dalam proses penulisannya, si penulis harus mengikuti aturan, baik aturan teknis maupun aturan non teknis berupa arah pemikiran yang dikehendaki oleh pihak sponsor. Contohnya book review, laporan penelitian akademis (skripsi, tesis, disertasi), project research dan makalah (tugas kuliah).

E.     Argumentasi
Menurt (Budimansyah, 2013) istilah argumentasi merupakan bentuk penerimaan atau penolakan terhadap sebuah penjelasan. Istilah argumentasi juga dapat diartikan sebagai salah satu bentuk kalimat yang tentang pernyataan menerima (afirmasi) atau menolak (negasi) sebuah penjelasan tentang sesuatu. Kedua bentuk pernyataan diungkapkan bersifat rasional sesuai bangunan paradigma pemikiran atau latar pengetahuan dari pihak yang berargumentasi.


Paradigma pemikiran yang digunakan dalam menyusun asumsi rasional menjadi dasar bagi penetapan kriteria ilmiah nya sebuah argumentasi. Budimansyah (2013: 52) menjelas kriteria lain bagi sebuah argumentasi  ilmiah sebagai berikut:
1.    Logis : Sesuai dengan aturan logika.
2.    Rasional : Merupakan hasil kerja dan dipahami serta dicerna oleh rasio.
3.    Fokus : Paparan tidak bersifat un-visible (tidak mengarah / tidak memiliki kejelasan visi).
4.    Faktual : Didukung oleh fakta dan data empiris.
5.    Objektif : Netral atau tidak memihak.
6.    Teoritis : Dapat didukung oleh teori tertentu, atau bahkan menjadi embrio bagi terbentuknya teori baru.
7.    Konklusi : Dapat menjadi dasar bagi penarikan konklusi atau simpulan.
8.    Analitik : Menggunakan bahasa ilmiah, sesuai dengan wilayah keilmuan.
Dalam penulisan karya ilmiah, terdapat beberapa jenis argumentasi yang biasa digunakan oleh seorang penulis. Kategori jenis argumentasi terlihat dari bentuk serta isi paparan yang terkandung dalam kalimatnya. Jenis-jenis argumentasi ini sekaligus menjadi gambaran tentang sifat dari argumen yang digunakan oleh seorang penulis karya ilmiah. Penggunaan jenis argumentasi sangat tergantung dari tujuan penulis dalam mengungkapkan argumentasinya. Jenis-jenis argumentasi dimaksud menurt (Budimansyah, 2013) adalah:
1.    Argumentasi Deskriptis
Berisikan hasil pembacaan dan kajian penulis tentang suatu realitas dengan berdasar pada paradigma keilmuan tertentu. Jenis argumentasi ini biasanya digunakan oleh para penulis yang bertujuan untuk mengungkapkan realitas sesuai dengan kondisi faktual. Dalam dunia akademis, argumentasi jenis ini sering digunakan oleh mahasiswa strata satu (S.1) dalam penulisan skripsi.
2.    Argumentasi Analisis
Berisikan hasil analisa penulis tentang suatu reallitas dengan berdasar pada paradigma keilmuan yang dimiliki dan dikuasainya. Latar keilmuan seorang penulis  akan ikut menyertai proses penarikan konklusi atau simpulan yang dibangun dari hasil rancangan argumentasinya. Jenis argumentasi ini merupakan gaya penalaran ilmiah di kalangan mahasiswa strata dua (S.2) dalam menyusun tesis.


3.    Argumentasi Reflektif
Berisikan hasil kajian dan tafsiran penulis terhadap suatu realitas dengan menggunakan paradigma keilmuan yang sudah inheren dalam bangunan pemikirannya. Penggunaan argumentasi jenis ini memungkinkan seorang penulis melahirkan pemikiran baru, baik dalam bentuk paradigma atau bahkan dalam bentuk teori. Argumentasi jenis ini seharusnya menjadi gaya penulisan mahasiswa program doctor atau strata 3 (S.3).
Sebagai sebuah aktivitas ilmiah, argumentasi terlahir dari proses berpikir kritis dan kehorensif. Proses tersebut memiliki dua pola atau gaya yaitu: deduktif dan induktif. Kedua pola atau gaya berpikir ini digunakan oleh para penulis atau peneliti yang menggunakan bentuk pendekatan tulisan berbeda. Budimansyah (2013) meyebutkan pola berpikir deduktif digunakan oleh para penulis atau peneliti yang menggunakan bentuk pendekatan kualitatif sedangkan pola berpikir induktif digunakan dalam bentuk pendekatan kuantitatif.
1.    Pola Pikir Deduktif
Proses berpikir dari hal yang bersifat umum kepada hal yang bersifat khusus. Pola berpikir deduktif pertama kali diperkenalkan oleh Aristoteles (384 – 322 SM), seorang filsuf berkebangsaan Yunani, dalam bentuk silogisme melalui karyanya yang berjudul ‘Organon’. Pola pikir deduktif, yang berbasis pada silogisme Aristotelian, terbangun dari tiga kategori, yaitu premis mayor, premis minor dan konklusi. Premis mayor berbentuk asumsi umum yang kemudian diturunkan ke dalam premis minor sebagai asumsi khusus, dan dari keduanya baru lah dapat ditarik konklusi atau simpulan. Kategori ini lah yang kemudian dikenal sebagai silogisme kategoris.
2.    Pola Pikir Induktif
Proses berpikir yang bermula dari hal khusus atau kecil untuk kemudian dijadikan sebagai dasar bagi penyimpulan yang diharapkan dapat diberlakukan pada hal yang lebih umum atau besar. Dalam lintasan sejarah filsafat dan ilmu, pola pikir ini pertama kali diperkenalkan oleh Sir Francis Bacon (1561 – 1626), seorang filsuf berkebangsaan Inggris, melalui karya fenomenalnya yang berjudul “Novum Organum” (1620). Pola pikir induktif dihadirkan oleh Bacon sebagai bentuk kritiknya terhadap pola pikir deduktif yang ditawarkan oleh Aristoteles.
 
F.    Sarana Penalaran Ilmiah
Sarana Penalaran Ilmiah dapat dipahami sebagai fasilitas yang digunakan dalam merancang pemikiran. Setiap bangunan keilmuan akan menggunakan sarana penalaran yang berbeda. Ilmu-ilmu sosial lebih cenderung menggunakan logika bahasa sebagai sarana penalarannya. Sementara, ilmu-ilmu eksak dan kealaman lebih mengedepankan statistik angka-angka sebagai sarana penalaran ilmiah.
Sebagai sebuah kesejatian, penalaran merupakan proses berpikir kritisnya manusia, sehingga apapun dan di wilayah manapun kajian keilmuan dilakukan, sarana utama dan pertama yang digunakan adalah ‘rasio’. Aktivitas rasional adalah keniscayaan yang tidak terbantahkan dalam naturalitas berpikir manusia. Oleh karenanya, semua ilmu pengetahuan yang tumbuh dan berkembang dalam ruang peradaban manusia pasti menjadikan rasio sebagai sarana penalaran ilmiahnya. 
Rasio adalah alat sekaligus sarana yang dapat menangkap berbagai fenomena dan kemudian memprosesnya dalam aktivitas kerja yang disebut berpikir (Budimansyah, 2013). Dari aktivitas ini terlahirlah pemikiran yang diungkapkan melalui bahasa. Dengan kata lain, bahasa adalah rumah bagi pemikiran manusia yang terlahir dari hasil kerja rasio.
Menurut Budimansyah (2013) dikatakan benar secara ilmiah jika memiliki beberapa kriteria. Diantara kriteria tersebut, yang dikenal sebagai kriteria kebenaran ilmiah adalah sebagai berikut.
1.    Kebenaran Pragmatis, yaitu kebenaran yang menjadikan nilai manfaat dari sebuah pernyataan sebagai standar pembenarannya.
2.    Kebenaran Korespondensif, yaitu kebenaran yang menjadikan kepastian relasi antara pernyataan dengan isi atau materi yang dimaksudkan dari pernyataan, sebagai standar pembenarannya.
3.    Kebenaran Koherensif, yaitu kebenaran yang menitikberatkan pada adanya unsur keterhubungan antara bagian-bagian dari objek yang dimaksudkan dalam ungkapan.
4.    Kebenaran Spekulatif, kebenaran yang bersumber pada perkiraan-perkiraan, dimana perumusan perkiraan-perkiraan didasarkan pada pengalaman yang berulang.
Budimansyah (2013) juga menjelaskan bahwa dari keempat bentuk kebenaran ini, hanya kebenaran korenpondensif dan kebenaran koherensif yang dapat dikategorikan ke dalam kebenaran ilmiah, karena keduanya memenuhi persyatan bagi sebuah kebenaran ilmiah, yaitu:
1.    Dapat dibuktikan sebagai wujud pertanggungjawaban;
2.    Dapat dijelaskan secara logis – rasional;
3.    Mengandung alur pemikiran sistematis dan sistemik;
4.    Bersifat objektif
































BAB III
KESIMPULAN

Pengetahuan merupakan sesuatu yang diketahui langsung dari pengalaman, berdasarkan pancaindra, dan diolah oleh akal budi secara spontan yang bersifat spontan, subjektif dan intuitif. Seorang ilmuwan yang merupakan orang berpengetuhuan harus peka akan fenomena yang terjadi di dunia ini, baik fenomena alam fisik, alam hayati, termasuk fenomena manusia sebagai individu, insan social, politik, ekonomi maupun sebagai hamaba Tuhan Yang maha Esa. Atas dasar pelacakan realitas oleh ilmuan pengetahuan dan ilmu pengetahuan semakin kaya. Ilmu pengetahuan, menjadi perintis yang membuat kemajuan teknologi menjadi lebih pesat dan tak terbayangkan. Ilmu pengetahuan pun dapat timbul dan tenggelam serta hanyut bersama dalam perkembangan peradaban manusia.
Tapi, tidak semua pengetahuan disebut ilmu. Karena syarat-syarat untuk mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu tercantum dalam metoda ilmiah yang bersifat konseptual empiris, eksperimental, logicomathematical yang mengelola dan menghubungkan fakta-fakta dalam sebuah struktur teori dan inferensi. Dalam hal ini maka metoda ilmiah merupakan cara berfikir gabungan antara rasional (deduktif) dan empirik (induktif). Dikatakan benar secara ilmiah jika hasil pemikiran meiliki manfaat, kepastian relasi antara pernyataan dengan isi, keterhubungan antara bagian-bagian dari objek yang dimaksudkan dalam ungkapan, dan dasar yang dirumuskan lewat pengalaman yang berulang. Selain itu, hasil pemikiran juga harus  bisa dibuktikan sebagai wujud pertanggungjawaban, bisa dijelaskan secara logis – rasional, mengandung alur pemikiran sistematis dan sistemik dan ersifat objektif










DAFTAR PUSTAKA

Budimansyah, D. (2013). Filsafat Ilmu:Cara kerja Ilmuan. Bandung: SPs UPI.

Brotowidjoyo, M. 1985. Penulisan Karangan Ilmiah. Jakarta: Akademika Pressindo.

Endraswara Swardi, Filsafat Ilmu. PT Buku Seru. Yogyakarta. Cet ke-1. 2012

Hamied, F.A. (Penyunting). 2012. Filsafat Ilmu. Bandung: SPs UPI. <Masih dalam proses penyuntingan>

Suhartono, S. 2008. Filsafat Ilmu Pendidikan. Jogja: Ar-Ruz media.

Suriasumantri, J. S. 1990. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Sinar Harapan.

Suriasumantri, J. S. 1996. Filsafat Ilmu. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

http://dorokabuju.blogspot.com/2012/05/hakikat-ilmu-pengetahuan.html access on            Wednesday, November 5th, 2014 at 11.31 WIB

http://www.bimbie.com/mendapatkan-ilmu-pengetahuan.htm access on Wednesday,         November 5th, 2014, 14.18 WIB


0 komentar:

Posting Komentar